Dalam buku yang ditulis seorang maestro komik pada tahun 1986, Will Eisner, dengan judul Comics and Sequential Art, komik didefinisikan sebagai sequential art yang berarti susunan gambar dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau mendramatisasi suatu ide. Sepuluh tahun kemudian, Will Eisner kembali menerbitkan sebuah buku tentang komik berjudul Graphic Storytelling. Dalam buku keduanya itu, Eisner mendefinisikan kembali komik secara berbeda dengan buku pertamanya, yaitu sebagai tatanan gambar dan balon kata yang berurutan dalam sebuah buku komik.
Diantara rentang sepuluh tahun penulisan Will Eisener tentang komik, terbit sebuah buku berjudul Understanding Comics pada tahun 1993. Buku yang ditulis oleh seseorang bernama Scott McCloud mendefinisikan seni sequential (pengurutan atau penjabaran) dan komik sebagai “ juxtaposed pictorial and other image in deliberate sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer”. McCloud mendefinisikan komik sebagai gambar-gambar dan lambang-lambang yang memiliki posisi berdekatan atau bersebelahan dalam urutan tertentu yang bertujuan untuk memberikan informasi atau untuk mencapai tanggapan estetis dari para pembaca (McCloud , 2002 dalam Maharsi, 2011:4).
Di Jepang sendiri, komik disebut sebagai ‘manga’ yang merupakan sebutan untuk kartun dari Jepang, serta istilah untuk menyebut komik Jepang. Dalam Kodansha Encyclopedia Of Japan, manga secara Literal diartikan sebagai “sketsa yang berantakan” (random sketches). Kata ‘manga’ digunakan pertama kali oleh seniman bernama Hokusai. Manga dikatakan berasal dari dua huruf Cina yang berarti gambar manusia untuk menceritakan sesuatu.
Pemaknaan komik, sampai saat ini masih belum memiliki titik temu. Belum ada satu kata sepakat dalam pemaknaan komik diantara para peneliti dan pemerhati komik. Timbulnya perbedaan definisi ini dikarenakan perbedaan persepsi dan pengamatan peneliti terhadap media ini. Peneliti komik cenderung memberikan definisi sesuai dengan penekanan fokus kajian masing- masing. Sebagian peneliti, mementingkan kolaborasi antara gambar dan teks, adapula yang mementingkan nilai kesusatraan, adapula yang mementingkan nilai gambar, bahkan, ada yang lebih mempertimbangkan sifat kesinambungannya (Sequental).
Perbedaan-perbedaan penekanan inilah yang kemudian menghasilkan banyak istilah dalam penyebutan komik. Beberapa contoh istilah penyebutan komik oleh beberapa peneliti, Picture Stories (Rodolphe Topffer), Pictorial Narratives (Frans Masereel dan Lynd Ward), Picture Novella (Drake Waller), Illustrories (Charles Biro), Picto-fiction (Bill Gaine), Sequental art/Graphic Novel (Will Eisner), dan Nouvelle Manga (Frederic Boilet). Namun, sebagai intinya, komik adalah bentuk lahir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannnya melalui bentuk gambar dan tanda. (Boneff, 1998:16)
Dalam Bahasa Indonesia sendiri, komik memiliki definisi yang sama dengan comic (Bahasa Inggris), karena sifat bahasa Indonesia yang memang sering menyerap bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Inggris, Portugis, Arab, Jawa, dan bahasa-bahasa suku lokal Indonesia. Namun, dalam perjalanan sejarah komik di Indonesia, muncul pula istilah ‘tjergam’ yang merupakan akronim dari ‘tjerita bergambar’. Istilah ini berakar dari penyebutan dalam ranah sastra yaitu ‘cerpen’ atau ‘cerita pendek’ dan ‘cerbung’ atau ‘cerita bersambung’.
that's all for the first part!
*C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar